Kamis, 09 April 2015

Kebudaayaan Pulau Sabu dan Rote

Tugas Ilmu Budaya Dasar

Abstrak

Tugas softskill kali ini akan membahas tentang kebudayaan daerah asal kedua teman saya. Kebetulan kedua teman saya berasal dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Lebih tepatnya, Aneela teman saya yang berasal dari Pulau Sabu, dan Kelin teman saya yang berasal dari Pulau Rote. Kedua pulau tersebut sangat terpencil karena itu banyak orang Indonesia yang tidak mengenal pulau-pulau tersebut, kecuali orang NTT. Saya akan membahas kebudayaan kedua pulau tersebut mulai dari adat, bahasa, makanan, dan sebagainya yang berasal dari berbagai sumber yang saya satukan dan menumpahkan beeberapa pemikiran dan pendapat saya didalamnya.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya.
 Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kita pungkiri bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruk terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpebgaruh pula terhadap kebudayaan daerah / kebudayaan lokal.
              Kebudayaan merupakan suatau kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.
Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku bangsa.
1.2 Rumusan Masalah
A.   Bagaimana sejarah kebudayaan Sabu dan Rote?
B.    Seperti apa adat istiadat budaya Sabu dan Rote?
C.    Bagaimana bentuk pakaian adat budaya Sabu dan Rote ?
D.    Bagaimana bentuk alat musik tradisionalnya ?
E.    Seperti apa bentuk rumah adatnya ?
G.    Apa  agama penduduk Sabu dan Rote ?
H.    Apa  bahasa penduduknya ?
I.      Bagaimana sistem kekerabatannya.?
1.3Tujuan
           Karena menjaga, memelihara dan melestarikan kebubayaan merupakan kewajiban setiap individu, maka dalam realisasinya saya mencoba menyusun makalah yang berjudul Kebudayaan Pulau Sabu dan Rote yang didalamnya mengulas tentang berbagai kebudayaan tradisionalnya. Penyusunan makalan yang berjudul Budaya Suku Sabu dan Rote ini bertujuan agar pembaca mengetahui bahwa suku sunda merupakan suku yang kaya akan budaya serta menyadari bahwa menjaga dan melestarikan kebudayaan daerah merupakan kewajiban dari setiap orang.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mengenal Budaya Rote
            Mengenal Budaya Rote - Kabupaten Rote Ndao adalah salah satu pulau paling selatan dalam jajaran kepulauan Nusantara Indonesia. Pulau-pulau kecil yang mengelilingi pulau Rote antara lain Pulau Ndao,Ndana, Naso, Usu, Manuk, Doo, Helina, Landu.
            Konon menurut lagenda seorang Portugis diabad ke 15 mendaratkan perahunya , dan bertanya kepada seorang nelayan setempat apa nama pulau ini, sang nelayan menyebut namanya sendiri, Rote. Sang pelaut Portugis mengira nama pulau itu yang dimaksudkan. Sebagian besar penduduk yang mendiami pulau/kabupaten Rote Ndao menurut tradisi tertua adalah suku-suku kecil Rote Nes, Bara Nes, Keo Nes, Pilo Nes, dan Fole Nes. Suku-suku tersebut mendiami wilayah kestuan adat yang disebut Nusak.Semua Nusak yang ada dipulau Rote Ndao tersebut kemudian disatukan dalam wilayah kecamatan.
            Masyarakat Rote Ndao mengenal suatu lagenda yang menuturkan bahwa awal mula orang Rote datang dari Utara, dari atas, lain do ata, yang konon kini Ceylon. Kedatangan mereka menggunakan perahu lete-lete.
            Strata sosial terdapat pada setiap leo. Lapisan paling atas yaitu mane leo (leo mane). Yang menjadi pemimpin suatu klein didampingi leo fetor (wakil raja) yang merupakan jabatan kehormatan untuk keluarga istri mane leo. Fungsi mane leo untuk urusan yang sifatnya spiritual, sedangkan fetor untuk urusan duniawi.
            Filosofi kehidupan orang Rote yakni mao tua do lefe bafi yang artinya kehidupan dapat bersumber cukup dari mengiris tuak dan memelihara babi. Dan memang secara tradisonal orang-orang Rote memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan mengiris tuak. Dengan demikian pada mulanya ketika ada sekelompok tanaman lontar yang berada pada suatu kawasan tertentu, maka tempat itu jugalah menjadi pusat pemukiman pertama orang-orang Rote.
            Secara tradisional pekerjaan menyadap nira lontar tugas kaum dewasa samapi tua. Tetapi perkerjaan itu hanya sampai diatas pohon, setelah nira sampai ke bawah seluruh pekerjaan dibebankan kepada wanita. Kaum pria bangun pagi hari kira-kira jam 03.30, suatu suasana yang dalam bahasa Rote diungkap sebagai; Fua Fanu Tapa Deik Malelo afe take tuk (bangun hampir siang dan berdiri tegak,sadar dan cepat duduk).
2.2 Mengenal Budaya Sabu
Mengenal Budaya Sabu- Sabu atau Sawu merupakan sebuah pulau dalam wilayah Kabupaten Kupang, terletak di keliling lautan Indonesia dan Laut Sawu. Luas wilayah pulau Sabu 460,87 km.
Iklim pulau umumnya ditandai dengan musim kemarau yang panjang yakni bulan Maret sampai dengan bulan November.
Penduduk Sabu terdiri dari kesatuan klen yang disebut sebagai Udu (kelompok patrinial) yang mendiami beberapa lokasi tempat tinggal antara lain de Seba, Menia, LiaE, Mesara, Dimu dan Raijua. Masing-masing Udu sebagi suatu klen atau sub udu yang disebut Karego.
Tentang pola perkampungan orang Sabu tidak bisa terlepas dari pemberian makna pulaunya sendiri atau Rai Hawu. Rai Hawu dibayangkan sebagi suatu makluk hidup yang membujur kepalanya di barat dan ekornya di timur. Maha yang letaknya disebelah barat adalah kepala haba dan LiaE di tengah adalah dada dan perut. Sedangkan Dimu di timur merupakan ekor. Pulau itu juga dibayangkan sebagai perahu, bagian Barat Sawu yaitu Mahara yang berbukit dan berpegunungan, digolongkan sebagai anjungan tanah (duru rai) sedangkan dimu yang lebih datar dan rendah dianggap buritannya ( wui rai).
Orang Sabu mengenal hari-hari dalam satu minggu, misalnya hari Senin Lodo Anni), Selasa (Lodo Due), Rabu ( Lodo Talhu), Kamis (Lodo Appa), Jumat (Lodo Lammi), Sabtu (Lodo Anna), Minggu (Lodo Pidu).Konsep hari ini (Lodo ne), hari yang akan datng (Lodo de), besok (Barri rai). Hari-hari tersebut membentuk satu minggu kemudian 4 atau 5 minggu membentuk satu bulan (waru) dan 12 bulan membentuk satu tahun (tou).
Secara umum orang Sabu mengenal dua musim, kemarau yang disebut Waru Wadu dan musim hujan atau Waru Jelai. Di antara kedua musim itu ada musim peralihannya. Dalam masing-Masing musim ada beberapa upacara yang berhubungan dengan mata pencaharian.
Dalam musim Waru Wadu atau kemarau, dikenal upacara 
·         memanggil nira; 
·         memasak gula lontar; 
·         memberangkatkan perahu lontar. 
·         Sebelum memasuki musim berikutnya/hujan ada upacara peralihan musim terinci atas 
·         memisahkan kedua musim; 
·          menolak kekuatan gaib/bala; dan pada musim waru jelai atau musim penghujan dapat diadakan tiga upacara: 
·          pembersihan ladang dan minta hujan; 
·         upacara menanam dan 
·         upacara sesudah panen.
2.3 Pakaian Adat
Menelusuri perkembangan Teknologi Tenun lkat di Pulau Rote, diperkirakan sejak masa sejarah orang Rote sudah mengenal Tekhnologi menenun. sebelum mengenal kapas, mereka   membuat Kain Tenun dari bahan serat gewang. Tenunan yang dihasilkan berupa sarung yang disebut lambi tei dan selimutyang disebut Lafe tei, dipakai sebagai pakaian harian maupun pakaian pesta. Tahun 1994 Tim Survei dan pengadaan Koleksi Museum mengunjungi Pulau Rote,
Pada saat itu masih dijumpai seorang Nenek di Kampung Boni- Kec. Rote Barat Daya yang masih menggunakan kain dari bahan serat gewang. Begitu dalamnya kecintaan sang nenek  terhadap kain tenun dari serat gewang,
Hingga akhirnya nenek tersebut pun enggan bahkan tidak mau menggunakan kain tenun dari benang kapas.
Masuknya Bangsa-bangsa luar ke Pulau rote, membawa perubahan pada berbagai aspek budaya termasuk teknologi Tenun. Penggunaan serat-serat tumbuhan mulai terganti dengan serat kapas yang diperkenalkan oleh para lmigran, seperti : serat kapas, dll. serat kapas merupakan serat terpopuler di dunia' kain yang terbuat dari serat ini disebut kain katun. serat kapas berasal dari tanaman Gossypium, sejenis belukar dengan tinggi antara 120-180 cm' Pada awalnya tanaman ini ditemukan di lndia sekitar tahun 5000 SM kemudian menyebar ke Barat dan Timur hingga ke wilayah Nusantara' sampai abad 19 wilayah Nusantara berswasembada lahan katun. Dengan diterapkannya politik Tanam paksa oleh Kolonial Belanda, maka pembudidayaan kapas mulai merosot dan sejak itu benang katun Amerika dan lndia menguasai pasar Nusantara
2.4 Rumah Adat
Mengunjungi suatu tempat kurang lengkap rasanya jika tidak memotret bangunan menarik yang merupakan icon daerah tersebut. Bangunan bisa berupa rumah adat, bangunan bersejarah hingga tempat ibadah. Dari sebuah bangunan bisa digali cerita menarik mengenai kehidupan penghuninya maupun sejarah bangunan tersebut.
2.5 Makanan Khas
Kabupaten Rote Ndao adalah kabupaten hasil pemekaran dari kabupaen Kupang dengan jumlah kecamatannya sebanyak 8. Wilayah kabupaten ini terdiri dari pulau Rote serta dikitari pulau-pulau kecil sebanyak 103 buah pulau,6 buah pulau berpenghuni yakni: Rote,Ndao,Nuse,Landu,Nusa Manuk,dan Usu. Menurut legenda, pulau ini mendapat nama secara kebetulan dari seorang pelaut Portugis, yang ketika tiba dan menanyakan nama pulau itu,penduduk yang ngga ngerti hanya berucap “Rote”. Nah, pada masa kedudukan Belanda lebih sering disebut “Roti”
Jika anda pencinta pantai, aku bisa bilang bahwa Rote-lah surga pantai yang sesungguhnya bagi anda. Pulau ini dikelilingi oleh pantai berpasir putih bersih yang lebar-lebar. Pokoknya luar biasa. Bahkan saya yang sudah lama di Bali, belum menemukan pantai yang lebih bagus dari pantai di Rote. Bali hanya unggul di pengelolaan saja. Kalau dari alam,sebenarnya ngga seberapa. Tapi saya suka di Bali karena transport dan akomodasinya lebih lancar,lebih mudah, lebih murah.
2.6 Keyakinan
Sebelum memeluk agama Kristen, suku Sabu menganut agama tradisional suku, yaitu Jingitiu. Saat ini hampir seluruhnya suku Sabu memeluk agama Kristen Protestan. Namun, dalam keseharian kebanyakan orang Sabu masih terpengaruh oleh tradisi Jingtu. Norma kepercayaan mereka masih tetap berlaku dengan kelender adat yang menentukan saat menanam dan upacara lainnya.
Dalam tradisi agama tradisional Jingitiu, menerapkan ketentuan hidup adat atau uku, yang konon dipercayai mengatur seluruh kehidupan manusia dan berasal dari leluhur mereka. Semua yang ada di bumi ini Rai Wawa (tanah bawah) berasal dari Deo Ama atau Deo moro dee penyi (dewa mengumpulkan membentuk mancipta). Deo Ama sangat dihormati sekaligus ditakuti, penuh misteri. Menurut kepercayaan mereka di bawah Deo Ama terdapat berbagai roh yang mengatur kegiatan musim seperti kemarau oleh Pulodo Wadu, musim hujan oleh Deo Rai.
Pembersihan setelah ada pelanggaran harus dilakukan melalui Ruwe, sementara Deo Heleo merupakan dewa pengawas supervisi. Upacara adat yang dilakukan harus oleh deo Pahami, orang yang dilantik dan diurapi. Upacara dilakukan dengan sajian pemotongan hewan besar. Kegiatan setiap upacara berpusat pada pokok kehidupan yakni pertanian, peternakan dan penggarapan laut. Karena itu selalu ada dewa atau tokoh gaib untuk semua kegiatan, termasuk menyadap nira. Kegiatan pada musim hujan berfungsi pada tokoh dewa wanita “Putri Agung”, Banni Ae, disamping dewa pemberi kesuburan dan kehijauan Deo manguru. Karena sangat bergantung pada iklim. Mereka memiliki 3 makluk gaib yakni liru balla (langit), rai balla (bumi) dan dahi balla(laut).
Masyarakat Sabu juga memiliki pembawa hujan yaitu wa lole (angin barat), lou lole (selatan) dan dimu lole (timur). Dalam kepercayaan Jingitiu, banyak dewa atau tokoh gaib sampai hal yang sekecil-kecilnya seperti petir dan awan. Lalu ada dewa mayang pada usaha penyadapan nira, dewa penjaga wadah penampung (haik) malah sampai haba hawu dan jiwa hode yang menjaga kayu bakar agar cukup untuk memasak gula Sabu.
Kampung masyarakat Sabu memiliki Uli rae, penjaga kampung, kemudi kampung bagian dalam gerbang Timur (maki rae) disebelahnya, serta aji rae dan tiba rae, (penangkiskampung) sama-sama melindungi kampung. Oleh karena itu setiap rumah dibangun harus dengan upacara untuk memberi semangat atau hamanga dengan ungkapan wie we worara webahi (jadikanlah seperti tembaga besi. Dalam setiap rumah diusahakan tempat upacara yang dilakukan sesuai musim dan kebutuhan, karena semua warga rumah yang sudah meninggal menjadi deo ama deo apu (dewa bapak dewa leluhur) diundang makan sesajen. Demikian juga terhadap ternak, selalu ada dewa penjaga, disebut deo pada untuk kambing serta dewa mone bala untuk gembalanya. Tetapi selalu ada saja lawannya. Karena itu, ada dewa perusak yang kebetulan tinggal dilat yakni wango dan merupakan asal dari segala macam penyakit. Hama tanaman, angin ribut dan segala bencana. Karena itu, harus dibuat upacara khusus untuk mengembalikannya ke laut supaya masyarakat terhindar dari berbagai bencana walaupun ada kepercayaan bahwa sebagai musibah itu merupakan kesalahanmanusia sendiri yang lalai membuat upacara adat. Umpamanya jika tidak membuat upacara untuk sang bani ae, maka sang putri ini akan memeras payudaranya yang menimpa manusia menimbulkan penyakit cacar.
2.7 “Agama Asli” Orang Rote
Agama asli orang Rote disebut dengan Halaik. Dalam konsep kehidupan akan alam gaib, orang-orang Rote juga percaya akan adanya dewa. Misalnya dewa Dewa Nutu Bek (dewa untuk pertanian), dan dewa Nade Dio (dewa pemberi kemakmuran). Mengenai konsep wujud tertinggi tersebut dikenal dengan apa yang disebut dengan Mane Tua Lain atau Lama Tuak sebagai suatu wujud tertinggi.
2.8 Seni
Dalam seni budaya suku Sabu yang populer adalah seni tari dan tenun ikat. Seni tari antara lain Padoa dan Ledo Hau. Padoa ditarikan pria dan wanita sambil bergandengan tangan, berderet melingkar, menggerakkan kaki searah jarum jam, dihentakkan sesuai irama tertentu menurut nyanyian meno pejo, diiringi kedu’Eyang diikat pada pergelangan kaki para penari.Kedu’E ialah anyaman daun lontar berbentuk ketupat yang diisi kacang hijau secukupnya sehingga menimbulkan suara sesuai irama kaki yang dihentak-hentakkan.Ledo Hau dilakukan berpasangan pria dan wanita diiringi gong dan tambur serta giring-giring pada kaki pria. Hentakan kaki, lenggang dan pandangan merupakan gerakan utama. Gerakan lain dalam tarian ini ialah gerakan para pria yang saling memotong dengan klewang yang menjadi perlengkapan tari para pria.
2.9 Alat Musik Tradisional
Maestro sasando, Jeremias Pah yang tergabung bersama Sasando muda Pah Fam, memainkan musik sasando begitu lihainya. Mereka memainkan lagu “Tanah Air” berkolaborasi dengan jebolan Indonesia Mencari Bakat (IMB) 2010 Putri Ayu. Malam itu, Dwiki Dharmawan bersama World Peace Ensemble tampil memukau bersama 100 pemain sasando asal Rote di Gedung Aula Utama El-Tari, Kupang, Selasa (13/11).
Beberapa musikus juga ikut meramaikan konser yang bertajuk “Ancient to the Future” yakni Ita Purnamasari, Ivan Nestorman dan Putri Ayu serta para maestro sasando seperti Jeremias Pah, Sasando Muda Pah Fam, Edon Family, dan John Tedens & Group. Iringan World Peace Ensemble yang dipimpin Dwiki Dharmawan mampu memberikan nasionalisme saat membawakan lagu itu. Bagaimana tidak, alat musik sasando merupakan milik dan kebanggaan Indonesia. Sasando merupakan identitas masyarakat Rote, Nusa Tenggara Timur dan Indonesia. Tidak heran, jika hampir penonton yang terdiri dari turis asing, dalam negeri dan masyarakat NTT begitu menggebu-gebu menyaksikan permainan musik sasando.
Konser ini semakin meriah dengan penampilan Ita Purnamasari. Penyanyi yang dikenal pada era 1990-an ini membawakan “Cintaku Padamu”. Lagu yang semakin melambungkan namanya di musik pop Tanah Air. Lagu yang dirilis pada 1993 ini mampu memberikan rasa kangen kepada penonton. Uniknya, Ita juga berkolaborasi dengan para pemain sasando dari grup Edon Family dan Paduan Suara Vocalista Kmanek. Selain membawakan lagu hitnya, penyanyi berusia 45 tahun ini juga membawakan lagu khas daerah NTT “Bolelebo”. Suara emasnya mampu menghipnosis penonton. Bahkan, ia sempat turun dari panggung untuk sekadar menyapa penonton. Tak ayal, penonton pun berusaha mendekatinya serta mengambil momen tersebut dengan berfoto.
2.10 Mata Pencarian
Masyarakat suku Sabu bertahan hidup pada bidang pertanian, terutama di ladang. Mereka menanam beberapa jenis tanaman untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Mereka juga menangkap ikan, membuat hasil kerajinan dan beberapa menjadi pedagang. Selain itu mereka juga memelihara hewan ternak dengan melepaskan ternak tanpa kandang.
2.11 Bahasa
Bahasa suku bangsa Rote pada hakekatnya satu (disebut bahasa Rote), namun bervariasi dialek menurut nusak masing-masing yang saling dapat dimengerti. Ciri yang menonjol dari bahasa Rote adalah bahasa sastra atau bahasa ritual. Bahasa sastra adalah satu bahasa khusus dan dapat segera dikenal sebagai bentuk bahasa yang digunakan dalam setiap kesempatan seperti : upacara adat, perundingan, salaman, nyanyian, tarian, dsb. Pada hakekatnya bahasa sastra merupakan pantun yang terdiri atas pasangan kata-kata berirama yang artinya bersamaan, misalnya: tolanok dudinok, dak esa fafan ma titiesa nonosinI (saudara sekerabat dan seturunan). Untuk memperoleh kata-kata seirama dengan makna dan tujuan yang sama, biasanya diambil kata-kata majemuk, sehingga bahasa sastra itu merupakan satu kesatuan pengertian yang mendalam.
Belanda memperkenalkan bahasa Melayu kepada orang Rote sebagai sarana bahasa pendidikan. Bahasa Melayu ini mudah diterima dan dipergunakan secara luar karena hampir sama dengan bahasa sastra orang Rote. Pada perkembangan lebih lanjut, bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa Indonesia yang sampai sekarang menjadi bahasa lintas suku dan pemersatu bangsa, termasuk orang Rote.
2.12 Sistem Kekerabatan
Di Pulau Rote, Ume Ofa' atau "Perahu-Rumah" telah punah. Penyebabnya ialah politik Orde Baru di akhir 1960-an. Kala itu, masyarakat  diimbau menghilangkan tradisi membangun rumah tradisional dengan upacara-upacara adat dan pesta meriah, yang dinilai boros.  Tolok ukur siapa yang dipakai? Sebagai pelajaran bagi generasi mendatang, apakah masih ada ume yang bisa diselamatkan?
Tempat ternak di bawah panggung (vilenggat), juga dinilai ”tidak higeinis”. Faktor agama pun turut mempengaruhi perubahan, sebab pembangunan rumah tradisional selalu dimulai dan diakhiri dengan upacara (songgo) untuk meminta petunjuk dari ruh leluhur, yang dianggap bertentangan dengan ajaran Kristen. Ume Ofa’ Balu’ atau “Rumah-Perahu Besar”, perwujudan budaya Rote, kini terkubur sudah. Gantinya adalah ume leleo rae dan ume leleo’ .
Tempat ternak di bawah panggung (vilenggat), juga dinilai ”tidak higeinis”. Faktor agama pun turut mempengaruhi perubahan, sebab pembangunan rumah tradisional selalu dimulai dan diakhiri dengan upacara (songgo) untuk meminta petunjuk dari ruh leluhur, yang dianggap bertentangan dengan ajaran Kristen. Ume Ofa’ Balu’ atau “Rumah-Perahu Besar”, perwujudan budaya Rote, kini terkubur sudah. Gantinya adalah ume leleo rae dan ume leleo’ .
Pulau Rote, Pulau Ndao serta pulau-pulau disekitarnya terbagi dalam 19  nusa’ (suku).  Di dalam lingkungan nusa’ terdapat kelompok-kelompok kecil kumpulan beberapa keluarga yang memiliki  hubungan kekerabatan (leo). Dari kesembilan belas nusa’, terdapat delapan belas dialek. Di masa lalu terkadang terjadi benturan fisik; pemicunya adalah penguasaan atas sumber air. Untuk mempertahankannya, di Nusa’ Delha, dibangun benteng pertahanan dari batu gunung  setinggi antara tiga sampai empat meter dengan ketebalan dinding sekitar satu setengah meter. Benteng pertahanan ini disebut sebagai kota’.
Tidak diketahui secara pasti, kapan sejarah permukiman berawal di Nusa’ Delha. Menurut tradisi tutur setempat,  permukiman itu  bermula di daerah Inggu Ata, Nemberala. Penduduk pertamanya berasal dari hubungan kekerabatan atau Leo Ombak.  Bukti bahwa mereka adalah bagian dari migran melewati jalur laut, adalah konsep yang sama antara rumah (ume) tradisional dan perahu (ofa’). Bagi mereka ofa’ merupakan hunian di laut dan ume merupakan perahu di darat. Begitulah istilah Delha untuk rumah tradisional  yang besar, yakni; ume ofa’ balu’ (rumah besar seperti perahu besar). Sekarang rumah yang demikian boleh dikatakan sudah tinggal kenangan. Sebaliknya perubahan-perubahan semakin cepat tercatat.


BAB III
KESIMPULAN
3.1 Penutup
Rote dan Sabu sebagai komunitas kutural memang mempunyai kebudayaannya sendiri yang ditampilkan lewat unsur-unsur kebudayaan. Dilihat dari unsur-unsur kebudayaan itu, masing-masing unsur berbeda pada tingkat perkembangan dan perubahannya. Karena itu terhadap unsur-unsur yang niscaya harus berkembang dan bertahan, harus didorong pula bagi pendukungnya untuk terus menerus belajar (kulturisasi) dalam pemahaman dan penularan kebudayaan.
Menurut pendapat saya, menangkap deskripsi budaya Rote dan Sabu adalah upaya yang harus serius, kalau tidak ingin menjadi punah. Kepunahan suatu kebudayaan sama artinya dengan lenyapnya identitas. Hidup tanpa identitas berarti berpindah pada identitas lain dengan menyengsarakan identitas semula.
3.2 Saran
Budaya daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan nasional, maka segala sesuatu yang terjadi pada budaya daerah akan sangat mempengaruhi budaya nasional. Atas dasar itulah, kita semua mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan budaya baik budaya lokal atau budaya daerah maupun budaya nasional, karena budaya merupakan bagian dari kepribadian bangsa.












DAFTAR PUSTAKA

0 komentar:

Posting Komentar